Jumat, 15 Mei 2015



Fath`a Lir -  Boundaries, Perspectives, And The Walls

Penulis: Manya


Pasal [0]


Tata, berjalan dengan lemasnya di bukit yang menanjak, mengelus-elus lehernya yang rasanya seakan tercekik karena hanya air liurnya saja yang ia tenggak. Terus berjalan mengikuti jalanan berbatu dengan hiasan rumput serabut. Di sekitarnya sapi-sapi gemuk – yang entah siapa pemiliknya—sedang mengerati rerumputan. Matahari memancarkan panas yang berlebih siang itu. Angin juga seakan malas bertiup. Tanpa bekal maupun pengetahuan dan tujuan, dia terus berjalan menuju sebuah titik nun jauh di mata namun dekat di hati. Sekiranya sudah berjam-jam Tata berjalan. Peluh mengalir di lengkung hidungnya. Keluhan mengalir darimulutnya..


“Andai aku bawa mp3..”


Setelah berjalan beberapa lama, Tata menemukan sebuah pos kecil yang di dalamnya duduk seorang pria tua yang mengenakan seragam kuning yang agak kusut. Nampaknya pak tua itu sedang asyik mengisi kuis di koran sambil mengupil, sesekali menggaruk-garuk kepalanya.


“Permisi pak! Boleh tanya?” pinta Tata pada pria tua itu.


Awalnya pak tua itu hanya menengok, lalu kembali memutar otaknya yang terperangkap di kepalanya yang sarat akan kerut dan uban untuk mengisi kotak-kotak yang sengaja disusun membentuk suatu pola di buku berhalaman minim yang masih menebarkan harum kertas baru, mengabaikan gadis di depannya yang berdiri menanti sebuah jawaban sambil mengipas-ipaskan tangannya. Sedetik kemudian, pria tua itu kembali menengok ke arah Tata.


“Err.. yah, kamu makhluk halus?” tanya pria itu. Meletakkan buku TTS itu di tumpukan buku TTS yang lain.


“Tentu! Semua perempuan itu punya fisik halus dan hati yang halus! Eh tunggu! Aku tidak berada di surga kan!? Aku belum mati!” sentak Tata.


“Ah, maaf-maaf.. Semenjak ditugaskan di sini, saya gak pernah lihat manusia selain pak Nurma. Dan sekarang, yang datang malah gadis ayu,” kelakar pria tua itu. Tata hanya membalasnya dengan raut muka ketus dan kacak pinggang.


“Paak.. Sadar diri dong. Huft. Sudah bangkotan gitu.. Ingat yang diatas pak.. Ngomong-ngomong, bapak bisa ngomong bahasa saya, jadi bapak manusia ya?”


“Hmm.. adik ini dari semesta lain ya? Yah, wajar sih. Alforea ini juga ramai dikunjungi makhluk-makhluk dari semesta yang bhineka.  Komunikasi juga sudah gak seperti jaman saya dulu yang masih pakai subtitel, sekarang berkat transmiter GVT yang bagus, ngomong beda bahasa gini bisa lancar. Ahh, saya jadi kangen masa-masa dulu.”


“Hmm.. gitu ya pak? Kayak Gilliam-Mebster di dunia saya, satelit bisa buat kita ngomong lancar sama orang Elven atau Daemon. Ngomong-ngomong, ini dimana ya pak?”


Pak tua itu hanya melongo ketika Tata bertanya. Kulit Tata memang putih.


“Oh, eh, maaf dik, jarang-jarang liat cewek asli yang molek, Gini-gini saya juga pernah ganteng kayak Aidan Gullan. Soal tempat ini ya? Tempat ini namanya Abanda. Dulunya ini pintu masuk ke Alforea, tapi semenjak Alkima mengudara,  disini jadi sepi. Cuma ada sapi-sapi peliharaannya pak Nurma disini.”


“Terus, saya keluar dari sini bagaimana pak?”


“Hmm.. bentar, saya panggilkan orang yang punya otoritas dulu, saya gak punya hak istimewa selain jadi penggembala di sini.”


Tak lama kemudian, sebuah lingkaran sihir muncul di samping pos tadi. Dari lingkaran tersebut keluar seorang wanita berlekuk tubuh menawan dan postur yang semampai namun hanya berhias kaus kamisol putih dan kolor merah. Parahnya ada beberapa keripik jagung yang menempel di pipinya dan sisa air liur kering di dagunya.


“Uuungh.. ada apa sih? Enak-enak mimpi indah kok malah dibangunin,” kata wanita itu lesu, sekali-kali sambil menguap dan menggoyang-goyangkan pinggangnya.


“Kok yang datang malah kamu? Pak Nurma mana?” tanya pak tua tadi.


“Kayaknya sih sibuk ngurusin sertifikat halal buat konsumsi para undangan.”


“Oh, begitu.. eh ada orang nyasar ke sini. Situ urusin.”


Wanita itu lalu menengok ke arah Tata, mengamatinya, lalu tangannya mencolek udara. Sebuah hologram muncul seketika.


“Hmm.. kamu Fath`a Lir?” tanya wanita itu.


Tata menganggukkan kepalanya. “Iya, kok kamu tahu? Kenal aku ya?” kata Tata balik menanya.


“G.”


“Gimana kamu bisa tahu?”


“Ya jelaslah, kamu kan udah terdaftar sebagai calon peserta Battle of Realms V.”


“Eh, Battle of Realms  V? Itukan nama CD yang ada di kotak ajaib tadi!”


“Oh, kamu pakai kaset ya? Wajar sih, ngaktifin kasetnya sama aja dengan setuju ikutan BoR.”


“Umm, bagaimana ya? Apa aku nggak bisa mundur?”


“Bisa kalau sekarang, tapi kalau aku jadi kamu, aku bakal ikutan. Toh ini kesempatan sekali seumur hidup.”


“Kalau aku ikut, aku bakal dapat apa?”


“Itu rahasia perusahaan.” jawab gadis itu diikuti senyuman dari wajahnya yang sarat akan kolagen. “Ikut aja lah, kalau menang kamu dapat apa yang kamu inginkan, kalahpun kamu juga bakal puas, toh game ini juga asyik kok. Tapi ingat, kesempatan mundurmu cuma sekarang. Sekali masuk prelim, kamu gak bisa mundur sampai babak final selesai. Kamu juga cuma bisa pulang setelah turnamen ditutup. Jadi, kamu bakal disini dalam tempo waktu yang cukup lama. Biaya hidup tetap kami tanggung kok. Jadi gimana? Ikutan nggak? Syarat buat ikutan juga udah kamu penuhi kok.”


“Hmm.. Oke deh, selama kepulanganku terjamin.”


“Okeee, ayo berangkat!!“ seru wanita itu sambil memencet-mencet udara. Tepat di situ muncul sebuah dua portal.


“Eh, kenapa ada dua portal?” tanya Tata keheranan.


“Iya, satunya langsung ke rumahku. Mau ikut? Sebenernya kalau kamu nggak jadi ikutan turnamen mau aku ajak main-main di rumah sampai turnamen kelar. Yah, kamu manis sih.. Lain kali main ya.”


“Oke, sebelum berpisah, boleh tanya namamu?”


“Yah, seminggu lagi kita bertemu lagi kok. Daagh..” sosok wanita itu pergi meninggalkan Tata, Mungkin Tata belum tahu, tapi kelak wanita itu bisa menjadi rekanannya, atau sebagai penunjuk arah malaikat maut padanya, atau mungkin malaikat maut itu sendiri.


Acuhkan bocoran barusan.




[Pasal I: Tolak Minuman Keras, Jus Berry Adalah Pilihan Yang Hakiki]




Suasana ramai yang jauh dari kesan suram, begitulah pendapat Tata mengenai tempat yang baru saja dimasukinya itu. Nafas pedagang dan pembeli saling beradu, percikan saus yang muncrat akibat wadah yang berlubang, anak-anak saling berebut manisan, beberapa perjaka yang berebut memegang tangan seorang perawan, kotak ajaib yang sepertinya sedang mengejar-ejar seorang gadis, dan pemandangan-pemandangan lain yang tak kalah aneh. Inilah Despera, permata paling berkilau di Alforea.


Tata yang sebelumnya sudah menghabiskan tenaganya untuk berjalan merasakan penat pada tubuhnya. Tubuhnya berjalan kearah yang tidak dikehendakinya. Dimasukinya sebuah bangunan kedai bergaya lama dengan lantai kayu yang mengkilap dan pencahayaan yang agak remang karena hanya diterangi oleh beberapa batang lilin di sebuah gang gelap yang sepi dari keramaian.


Di dalamnya Tata menemukan bermacam-macam insan yang aneh dan menarik menurutnya. Ada seorang wanita yang berpakaian serba hitam dengan rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai sedang mengaduk mangkuk berisi fondue coklat dengan sebuah pisau belati, seorang pria bersetelan hijau yang memakai topi kelabu aneh yang menikmati segelas kopi panas, tertawa sendiri. Lalu, ada pula seorang pemuda yang memainkan gadgetnya sementara di depannya duduk seseorang berpakaian rapi sedang mengajak pemuda itu mengobrol, namun tak dihiraukannya.


Tata lmemesan minuman pada pria bertudung kelabu yang berdiri di balik meja bar. Segelas jus murberry, dan salad buah. Tata memilih lokasi tempat duduknya di lantai atas, di meja yang berdekatan dengan jendela, Tata yang lelah raganya ingin memandangi langit yang dihiasi kerlap-kerlip bintang dan menghirup semilir angin malam setelah seharian disirami sinar matahari di Abanda.


Di meja tempat Tata singgah untuk menegak minumannya, duduk seorang wanita berambut hitam potongan pendek sedang terlelap. Wanita itu tidur sambil mengenakan armor besi unik yang kelihatannya berat. Tidurnya pun sepertinya tidak nyenyak karena wanita itu mengigaukan beberapa nama dengan nada marah dan susah.


Tata hanya bisa mengabaikannya, dia tak ingin membuat masalah di tempat yang masih asing baginya. Namun, entah ada angin apa, wanita itu membuka matanya. Mendapati seorang gadis bermata coklat sedang menyeruput minuman berwarna merah yang kelihatannya amat pekat sambil menyandarkan dagunya pada telapak tangannya.


“Halo..” sapa wanita itu dengan matanya yang masih terkatup-atup.


“I-iya.. Apa tidur anda yang barusan nyenyak?”


“Erm. yah, tidak bisa dibilang nyenyak sih, lalu kamu ada perlu apa? Gesturmu memberitahuku bahwa kamu sudah siap untuk beradu panco.”


Wanita itu berdiri di hadapan Tata. Badannya sungguh tinggi. Ditambah dengan armor berukirkan wajah harimau itu membuatnya terlihat seperti raksasa besi.


“Ti-tidak, sa- saya hanya ingin duduk di sini dan anda tiba-tiba terbangun.”


“Oooh, jadi cuma salah paham ya? Haha.. Maaf, maaf, sekarang mana helmku? Ah ini.. Perkenalkan namaku Caitlin Alsace, Duchess of Ostrogoth sekaligus pemimpin pasukan antarbintang Midgard, siapa namamu, hai gadis kecil?”


“Nama asli?”


“Terserah dirimu.”


“Namaku Fath`a Lir, prajurit Kesultanan Atuktar, panggil saja Tata. Senang berkenalan dengan anda, umm.. nona Catty?”


“Panggil aku Cat, aku tak suka dipanggil dengan nama aneh begitu.”


“Aneh katanya, padahal nama yang dianjurkannya lebih aneh”, begitu kata suara hati Tata. Keduanya lalu berbincang mengenai tempat asal mereka, bagaimana mereka bisa datang di dunia ini, dan beberapa hal-hal yang mungkin hanya wanita saja yang mengerti.


Selang beberapa menit kemudian, muncul seorang wanita yang memakai pakaian yang menutupi sekujur tubuhnya dan kain putih di kepalanya serta jaket kulit coklat. Diikuti beberapa pria berbadan gempal di belakangnya yang membopong seorang.. err... sepertinya narator bingung menjelaskan soal makhluk ini. Makhluk ini memiliki badan bagian bawah yang jenjang seperti supermodel tapi memiliki atasan yang bercabang-cabang sehingga membuat makhluk ini adalah koral berjalan.


“Kamu harus pakai baju!” bentak wanita serba tertutup itu pada makhluk aneh itu.


 tapi, aku berbeda, bu! Karena itulah fashion senseku nggak sama dengan kalian. aku telanjang karena ini seni modern.


Entah bagaimana semua orang di tempat itu mengerti apa yang diutarakan makhluk ini.


“Berani melawan ibu?? Oke! Anak-anak, carikan pakaian yang cocok buat gadis bandel ini!”


 nggaak mauu!!


Beberapa pria yang sebelumnya menggotong koral berkaki itu lalu bergerak keluar kedai, hendak melaksanakan perintah wanita bertudung itu. Sisanya menggotong koral yang sepertinya berat itu, membawanya mengikuti kemana arah ‘majikan’ mereka melangkah.


“Lihat Fatha, sepertinya wanita itu punya kekuatan untuk memperbudak orang di sekelilingnya.” bisik Caitlin pada Tata.


“Sudah beberapa kali aku memberitahumu kalau panggilanku Tata, huft!”


Seakan menyadari pergunjingan Tata dan Caitlin, wanita bertudung tadi dengan berdecak menuju ke tempat mereka berdua duduk.


“Kalian berdua ngomongin apa hei?” sentak wanita itu judes.


“Umm.. Tidak bu..” jawab Tata, sambil kebingungan dengan kata panggil “bu” yang tak dimaksudkannya.


“Maaf, Bu.” imbuh Caitlin sambil mencium tangan wanita itu, sepertinya dia juga tidak paham akan tingkahnya itu.


“Kalian berdua ibu maafkan, asal jangan dilakukan untuk kedua kalinya. Tidak baik membicarakan orang di depan orangnya langsung, apalagi kalau belum mengenal orangnya. Oh iya, nama lengkap ibu Kusumawardhani, panggil saja Bu Mawar.” jawab wanita yang mengenakan tudung yang disebut kerudung itu pada mereka berdua sambil mengembangkan senyumannya yang karismatik dan menghipnotis.


Tata dan Caitlin hanya mengangguk patuh.


“Kau lihat Fatha? Pria di pojok sana sepertinya tak terpengaruh dari tadi. Mungkin saja ucapannya itu yang jadi pengaktif kemampuannya.” bisik Caitlin pada Tata, sambil mengintip Bu Mawar yang sedang memarahi bartender, memaksanya menyiapkan sebuah ruangan untuk beribadah.


“Hebat, ada berapa banyak orang dengan kemampuan unik disini?” balas Tata setengah takjub, tentu saja dengan berbisik. “Terus, apa nona Cat mengerti makhluk macam apa yang diseret bu Mawar itu?”


“Tak tahu, sepertinya makhluk asli sini?”


kalian ngomongin aku?


“Ini karena nona Cat bicaranya agak keras sih! Dia jadi sadar kalau kita omongin.”


“Bukankah kamu yang bicaranya jelas? Orang di pojokan tadi mungkin bisa dengar suaramu!”


“Huft!! Salah, tapi nggak mau ngaku!”


“Dasar kucing garong, ingin diberi servis tinju!??”


tolonglah! ini jaman udah maju. masih main duel, kok primitif banget? jaman triasik aja masih lebih asik ketimbang kalian.


“Bagaimana bisa dia ngedengernya?” tanya Tata.


aku nggak denger, aku baca.


Tata kelu, saat bibirnya ingin bergerak untuk berkomentar, muncul sebuah hologram di depannya.


Cepat berkumpul di halaman kastel. Aku punya hadiah untuk kalian.

  
Tertanda: Tamon Ruu



[Pasal II: Pfft.. Aflorea]



Semua peserta dijadikan satu di alun-alun. Tak terkecuali Tata yang belum sempat menghabiskan jusnya. Tata tentu saja penasaran dengan sosok Tamon Ruu ini. Dia terus melantunkan nama itu sambil berjalan, menurutnya itu lucu.


Setibanya di halaman kastel despera yang anggun menjulang Tata disambut oleh keramaian yang cukup padat. Sepertinya banyak yang penasaran dengan sosok Tamon ini. Tata mendapati beberapa pemuda yang memakai pakaian seragam yaitu kaus bertuliskan “Tamon Maha Dewiku”


“Tamon Ruu ini mungkin penyanyi ya?” begitu benaknya.


Setelah cukup lama menunggu, akhirnya sosok yang dinanti muncul. Sesosok wanita yang bersurai panjang keemasan, dagunya yang lancip, bola matanya yang biru seperti lapis lazuri, dan tentu saja dadanya yang besar. Hendak jatuh dari balkoni.


Sekumpulan taruna berseragam tadi sudah hilang berpindah posisi di balkoni dengan membawa trampoline. Nampaknya mereka sudah profesional dalam bidang ini. Sayangnya wanita itu tidak jadi jatuh.


Bagaimana dengan Tata? Mulutnya menganga melihat sosok wanita yang ditemuinya di Abanda berdiri di lantai kastel. Tersenyum memamerkan giginya yang mungil seperti biji mentimun. 


“Loh, wanita keripik jagung? Jadi dia Tamon Ruu. Namanya terlalu imut untuk wanita sevulgar dia.” gerutu Tata di tengah keramaian itu.


“Selamat datang di Aflorea, wahai para petualang!” ucapnya syahdu. Sebagian besar dari kerumunan itu berteriak membalasnya, penuh akan gairah balasan mereka. Tata, nyaris terpingkal. Dia yakin yang didengarkannya itu Aflorea bukan Alforea.


“Aaa... tes...tes... baka to test,” Ucapnya seraya mencoba berbicara melalui mic.


“Woi, nanti kena lisensi!” Protes Hewanurma di belakang. Terdengar suara pria paruh baya di belakang Tamon. Seorang pria berjanggut dan berambut lebat tapi tersisir rapi tiba-tiba muncul, merampas mic yang sedaritadi digenggam Tamon dan pada akhirnya pria itu memulai pidatonya.


[Pre-memory]


Situasi mendadak berubah drastis sejak orang tua di balkon kastel itu meneriakkan kata-kata pembuka turnamen ini dengan penuh semangat. Semua peserta saling merekrut satu sama lain. Tata akhirnya bergabung dengan 3 wanita yang ditemuinya di kedai hitam dalam satu tim, secara tidak sengaja. Tentu saja yang merekrutnya adalah Caitlin, yang setelahnya merekrut bu Mawar dan koral berjalan yang ternyata memiliki nama, yaitu Ananda.


“Yee.. Sebentar lagi kita sampai di Shohr’n!” kata Vane girang. Vane, atau Vanilla yang merupakan nama lengkapnya, adalah gadis muda yang memandu mereka. gadis itu mengenakan pakaian hitam frock hitam dengan apron putih. “Nah, aku bakal ngejelaskan—“


“Pakai bahasa yang sopan dan baku!” tegas bu Mawar.


“I-iya bu, begini.. Di babak preliminasi ini kalian akan di gurun yang gersang ini. Kalian harus bisa bertahan hidup sampai syarat utama babak ini terpenuhi, yaitu: Menghancurkan dua menara yang ada di depan sebuah bangunan kastil—“


“Kastel!” bentak bu Mawar.


“Awawawa.. iya, bu! Kastel, kastel.. pokoknya di depan kastel itu ada menara yang terbuat dari kristal--“


 kristal itu terdiri dari apa? mineral keras seperti intan atau lunak seperti kapur? termasuk di kelas kristal mana?


“Ummm.. aku tak tahu pasti, tapi sepertinya kristal itu terdiri dari sihir yang dipada—“


Sebelum menyelesaikan penjelasannya, bu Mawar mendengus ke arah Vane.


“Sihir itu ilmu hitam, apa disini banyak pemuja setannya ya?” desah bu Mawar.


“Bu.. Kalau tak ada sihir mana bisa turnamen ini berlangsung.”


“Ya, ya terserah.. Lanjutkan penjelasannya.” dumel bu Mawar.


“Baik, bu. Misi kalian yaitu menghancurkan—“


“Kau sudah mengucapkannya tadi.” potong Caitlin.


Senyuman yang sedari tadi dipaksakan kini luntur. “Uuuh.. Kan susah kalau daritadi mau ngomong disela kek, dikomentari kek, ditanya balik kek, sudah kalian diam! Kalau mau bertanya, silahkan bertanya sekarang!” gerutu Vane sembari menggembungkan pipinya.


“Oke, aku mau tanya!” seru Tata yang sedari tadi hanya cekikikan.


“Apa? Yang serius ya?” balas Vane sembari membenarkan mopnya yang nyaris jatuh.


“Kalau bando itu dilepas, apakah kamu akan menghilang?”


“Mungkin rasanya akan sedikit sakit.”


“Ihihi, kamu gadis kuat.”


“...untukmu.”


“Apakah memandu kami berempat adalah salah satu dari rencanamu?”


“Tentu—HEI, kenapa mendadak suaraku berubah seakan aku memakai alat bantu bernafas? Ah sudah waktunya! Selamat tinggal!”


Tata yang sebelumnya memasang tampang garang tapi dingin tersentak. “Hei! Aku belum selesai! Bagaimana maid sepertimu punya kesetiaan--”


“Wek, bodoamat..!” seru Vane sambil menjulurkan lidahnya yang pendek.


Tiba-tiba saja tubuh mereka berempat, yang sebelumnya berada di sebuah ruangan sempit berukuran 3x3 meter. Berpindah lokasi di sebuah batu besar yang dikelilingi oleh kaktus yang rimbun.


“Bagaimana kita bisa turun dari tempat ini?” keluh Bu Mawar.


“Bu, sini saya bantu.” ujar Tata sambil menepuk dadanya. “Bu Mawar saya gendong belakang ya?”


Bu Mawar hanya mengangguk, lalu mengikuti apa yang diinstruksikan Tata padanya.


“Pegangan yah bu, 1, 2, dan 3!” seru Tata diiringi dketukan kakinya. Seketika itulah muncul ledakan kecil yang anginnya sempat menggeser posisi Ananda.


Ananda yang sedari awal hanya mematung diangkat badannya oleh Caitlin.


caitlin kuat sekali, padahal badanku lumayan berat. hiks, aku malu mengakuinya.


“Kau masih terhitung ringan, Ananda. Asal tahu saja, setiap harinya porsi latihanku adalah mengangkat beban yang berkali lipat lebih berat ketimbang berat badanmu.” pamer Caitlin pada Ananda. Sambil mengangkat beban seberat bonsai beringin ukuran jumbo itu Caitlin melompat layaknya jaguar dan mendarat tepat di lantai pasir. “Nah, untuk sekarang kamu aku angkat dulu sampai di tujuan.”


“Ngomong-ngomong, kemana tujuan kita? Sekarang kita dimana?” tanya Tata pada rekan-rekannya. Bu Mawar dan Caitlin mengangkat bahunya. Serentak.


ini gara-gara si maid dungu itu.


Tidak sampai sedetik setelah subtitel diatas terbaca oleh Tata. Muncul hembusan angin bercampur dengan pasir yang sangat dahsyat dari arah utara. Mereka berempat berlindung di sisi selatan batu besar tempat mereka mendarat tadi.


“Astagfirullah! Apapula badai pasir yang luar biasa kencang ini?” seru Bu Mawar setengah tak percaya. Kerudungnya nyaris lepas saking kencangnya deburan angin. Helm yang dibawa Caitlin terjatuh, menggelinding, dan lenyap tenggelam di dalam pasir, tak terkecualikan pula Ketche Tata yang malah hilang ditelan langit.


walau tanpa Ketche Yanisari, kamu tetep kece kok, Ta.


“Yha.” respon Tata.


“Apa kalian melihatnya? Tadi posisi bulan ungu itu sangat dekat dengan permukaan, seperti buah yang jatuh, hanya saja terlihat lebih lambat.” tambah Caitlin. “Bagaimana ini bisa terjadi?”


mungkin ada yang sedang datang bulan


Tidak ada derik jangkrik di gurun yang sedang mengamuk.



[Pasal III: Tidak Ada Kelakar Di Suasana Gawat]



Badai pasir agak mereda, walau belum sepenuhnya berlalu. Keempat wanita itu masih berlindung di balik batu besar yang makin terkikis itu. Sementara mereka berempat menyaksikan sebuah pemandangan yang luar biasa. Seekor makhluk berupa kuda sembrani dengan sayap api melintang diatas kepala mereka. Bermanuver di langit malam yang penuh titik-titik putih, menebar teror.


“Allahu Akbar! Seperti itukah sosok Buraq yang selama ini engkau sembunyikan dari kami, Ya Allah?” pekik bu Mawar takjub.


bu mawar, menurut situs islam yang saya baca dulu. Konon Buraq bergerak sangat cepat. Lebih cepat daripada putaran tornado, cahaya, maupun gerak partikel tachyon. Mana mungkin bisa terlihat oleh mata manusia.


Sang kuda terbang raksasa itu lalu berbalik arah kembali ke arah dia muncul. Dua wanita dewasa dan dua wanita muda itu berusaha mengikutinya. Langkah mereka terhenti di ujung bukit. Luar biasa pemandangan yang mereka lihat setelahnya. Makhluk berukuran besar itu dengan beringas melindas apapun yang dilewatinya, mulai dari tumbuhan, manusia, dan monster-monster seperti Ogre, kurcaci, manusia setengah hewan, hewan setengah manusia, cicak raksasa, katak hijau raksasa yang bermuka sedih, naga, brontosaurus, dan berbagai makhluk fantasiyah lain.


“Astaga, jadi itu lawan kita?” ujar Caitlin sambil mengawasi pembantaian dari atas bukit.


“A-aku tidak kuat melihatnya.” erang bu Mawar. Sebelum terjatuh, Tata menggunakan tubuhnya untuk menahan jatuhnya bu Mawar. “Apa murid-muridku ada yang melihat pemandangan seperti ini? A-aku tak kuasa.”


“Bu Mawar yang tegar! Kalau bu Mawar bisa dengan mudah menasihati dan menghardik orang lain, tentu saja mudah bagi seorang bu Mawar untuk memotivasi dirinya sendiri!”


Bu Mawar seakan tertampar mendengar ucapan Tata barusan. Api di matanya, yang sebelumnya padam, kini kembali membara. “K-kau benar, Fatha. Aku datang ke tempat ini dengan niatku sendiri. Aku harus siap menerima apapun yang terjadi. Ayo Mawar, mana ketegaran yang kamu andalkan disaat bapak meninggal mendadak? Kamu harus kuat!”


“Hahaha, self-motivating yang bagus, Mawar! Ayo! Kita bergerak. Kita jinakkan kuda poni besar itu!” pekik Caitlin dengan semangat.


kayaknya kita bakal serius disini ya? bisa ganti gantian nggak, pak narator?


Eh..



 [Pasal IV: Other’s Perspective]



[Ayat I]


Bu Mawar masuk ke medan tempur dan membaur di kekacauan. Panasnya api pertempuran semakin membara karena di atas perang besar itu melayang seekor makhluk yang memancarkan kalor panas. Tetesan api berukuran besar terus meluncur setiap 5 menit. Melelehkan apapun yang ditimpanya. Kuda raksasa itu makin menggila setiap ada dukun ogre yang terlibat perang. Mungkinkah energi magis yang dimiliki makhluk itu yang memancing perhatian si kuda raksasa? Siapa tahu.


Di tengah-tengah kumpulan angkara murka yang meluap-luap itu. Terdengar sebuah suara yang kecil, namun sarat akan isyarat komando.”Semuanya diam!”, begitu bunyi suara lirih tapi tegas itu.


Perangpun seketika terhenti. Kuda api terbang menjauh entah kemana.


“Ibu mau tanya! Kenapa kalian semua tawuran begini?”


Semuanya membisu. Ngedumel sendiri. Cari-cari alasan.


Bu Mawar terus berceramah, “Jika kalian bertengkar terus begini, apa tidak kasihan dengan orang tua kalian? Ayah yang memberi uang saku kalian dan ibu yang memberi air susunya pada kalian?” Tak sedikit suara isak tangis penuh penyesalan. Bahkan makhluk ovipar seperti manusia kadal dan ular naga ikut meneteskan air mata. “Tak ada kata terlambat untuk berubah, kita bisa menjadi pribadi yang baik dengan berbuat bakti pada sesama! Ayo semua, jangan bertengkar lagi!”


Acara bacok-bacokan berganti menjadi ajang saling memaafkan. Bahkan ada yang memasak opor ayam dan lemang. Ananda jadi lapar. Nona Cat kelihatannya juga tergiur walau masakan-masakan itu masih asing di matanya.


Namun, bibit-bibit kepanikan mulai bertunas ketika cahaya kemerahan turun dari langit. Hendak menghantam tanah. Mengacaukan kenduri yang entah bagaimana bisa dilanggengkan oleh kedua pihak.


Namun, dari selatan tiba-tiba muncul sebuah, tidak, lima buah batu besar berdiameter 2 meter melayang mengarah tepat ke badan pegasus merah ini. 3 batu itu berhasil menghantam kepala dan badan kuda terbang itu, sisanya mendorong badan kuda itu sehingga gagal menabrak lantai pasir yang dipijaki para prajurit Alforea dan monster yang sedang panik.


Dari arah batu itu melesat, berdiri seorang gadis yang memegang sebilah pedang berwarna hitam. Gadis itu lalu berlari ke arah batu besar yang sepertinya sudah disiapkan sebelumnya, menyabet bubuk hitam yang sebelumnya sudah dibubuhkan di pantat batu itu. Bum! Suara yang tak begitu memekikkan telinga itu menerbangkan batu itu. Batu itu melayang tepat ke arah kuda raksasa itu. Sekali lagi menghantam batok kepalanya. Membuat kuda itu semakin terpental sekaligus marah, lalu melesat ke arah batu itu berasal.


“Semoga gadis itu baik-baik saja. Rencana gadis itu sangat sembrono sampai aku ingin menangisinya.” ujar Caitlin yang keluar dari persembunyiannya di balik kereta kencana yang membangkai di medan pertempuran itu. Kali ini dia sudah melepaskan Ananda. Tentu saja karena..


cahaya..


Ananda bisa bergerak sendiri. Tapi tidak lama, paling tidak Ananda tidak perlu khawatir akan merepotkan Caitlin. Caitlin pun juga bisa bergerak lebih leluasa. Mungkin keadaan ini hanya bisa bertahan dalam beberapa menit. Sumber spektrum itu juga semakin menjauh. Tapi, Ananda yakin. Misi kali ini akan selesai sebelum ia kembali membatu. Lalu bagaimana pendapat Ananda mengenai rencana Tata?


kayaknya dia bakal game over. hush, berdoa yang baik-baik saja deh. ayo nona cat, kita ke bu mawar


Bu Mawar baik-baik saja sejauh yang mereka lihat. Nampaknya dia sedang sibuk memediasi monster besar yang kangen dengan penciptanya, memarahi manusia serigala yang bulunya terlalu gondrong, dan memberi motivasi pada kiklops yang pandangannya di luar dugaan sangat luas tapi minder akan kekurangannya.


Caitlin menghampiri bu Mawar, menggenggam pergelangan tangannya yang memegang rotan, “Ayo Mawar, kau sudah dapat banyak ‘murid’ kan? Segera gempur kastel itu dan ratakan Kristal itu dengan tanah sebelum Tata hangus.”


“Tapi, Nona Cat. Mereka yang ditempatkan dipos ini bahkan tidak genap seperempat dari pasukan yang berjaga di sekitar kastel. Walau ditambah dengan sisa prajurit Alforea yang kita punya, kita mutlak kalah jumlah.” Tutur Bu Mawar.


tenang bu mawar. kita pasti bisa! Teruslah mengimpuls pasukan yang ada dengan doronganmu, aku punya ide untuk memenangkan babak ini.


Setelah membaca subtitel diatas. Bu Mawar makin percaya diri. Dibimbingnya para prajurit dan monster menuju utara,tempat kastel dan menara kembar yang menjadi tujuan utama mereka. Belum lama mereka bergerak mereka sudah dihadang oleh sekumpulan tengkorak yang bisa bergerak. Puluhan. Dan membawa aneka ragam senjata.


“Oke, waktunya menghajar tulang-tula—“


tunggu, nona cat. Kayaknya mereka cukup kuat, biar aku permainkan mereka dulu. Bu mawar mohon kerjasamanya ya. Nanti bu mawar sembunyi dulu, jangan sampai terlihat oleh mereka. Teman-teman prajurit dan monster bisa sembunyiin bu mawar nggak?


Ananda mendekati monster-monster itu, tengkorak-tengkorak kering yang terus mengeluarkan suara gemeratak acap kali mereka bergerak. Apalagi setelah mereka melihat mangsa empuk di depan mata. Yaitu Ananda yang di pandangan mereka seakan memohon untuk ditebang. Tapi..


teman- teman! siapkan buku dan alat tulis kalian! bu mawar datang! hari ini ulangan!!


Tulang-tulang itu merasa gentar, mereka lupa membawa buku pelajaran hari ini. Apalagi setelah mereka mendengar derap kaki murid-murid yang sepertinya sedang berlari masuk ke ruang kelas. Yang sebenarnya adalah para prajurit Alforea dan monster baik yang datang dan menindas serdadu-serdadu belulang yang lalai.


Beberapa menit kemudian, marching ini sudah sampai di panggung utama, yaitu pelataran puing-puing kastel dan dua menara kristal yang menjulang tinggi. Jarak di antara kedua menara itu kira-kira 30 meter.


“Saatnya menggila! Ayo teman-te—“


tunggu nona cat! biar ini yang jadi pamungkasku sebelum aku kembali membatu..


ehem..


satu. dua. tiga.


terima kasihku kuucapkan
pada guruku yang tulus
ilmu yang berguna selalu dilimpahkan
untuk bekalku nanti


setiap hariku dibimbingnya
agar tumbuhlah bakatku
kan ku ingat selalu nasihat guruku
terima kasihku kuucapkan


Setelah mendengar lagu itu. Hati para prajurit Alforea dan monster-monster baik menjadi sejuk. Mereka jadi mengingat jasa guru mereka yang membuat mereka bisa berdiri di tempat ini. Tak sedikit dari mereka yang menoleh ke arah Bu Mawar dan dari bibirnya keluar kata-kata yang mengharukan.



“Terima kasih, bu..”


Bu Mawar tersenyum, pancaran kristal yang memantulkan cahaya bintang membuat senyumannya semakin berkilau.


“Kalian terus berjuang ya..” ucap Bu Mawar lirih, bangga.


Riuh gelora memenuhi tempat itu, semangat tempur sudah berada di titik tertingginya. Begitu pula dengan Caitlin yang sudah siap sedari tadi. “Ayo para tentara yang dibanggakan guru mereka!! Kita tuntaskan pertempuran ini dengan segera!!” pekik Caitlin. Diikuti dengan seruan dan langkah derap kaki prajurit yang tak sabar ingin menyelesaikan perjuangannya kali ini.


Nona Cat semangat ya!


Ananda capek. Begitu pula dengan Bu Mawar. Kini mereka hanya bisa berdoa mendoakan kesuksesan Caitlin dan keselamatan Tata.


[Ayat II]


Pertempuran akhir sudah di depan mata. Aku, yang kurasa sebelumnya minim kontribusi, kini punya kesempatan untuk menunjukkan identitasku sebagai wanita yang hidup di medan perang. Kupacu armorku untuk terus berlari mengikuti arus deras ini, terima kasih untuk Bu Mawar dan Nona Pohon, sepertinya pasukanku sekarang memiliki moral yang bagus dan akad yang kuat. Sorot mata prajurit kuat dan tak takut akan maut tertancap kuat di bola mata mereka.


Kerumunan prajurit berani mati melawan ribuan monster-monster munafik yang melindungi bangunan utama. Dimulai! Beberapa raksasa yang membawa pentungan menerjang dari kubu musuh. Nyaris seseorang –atau sesuatu—yang terpelanting ke posisiku menghantam tubuhku, yang tentu saja berhasil kuhindari. Tentu saja beberapa prajurit di belakangku yang tertimpa, semoga mereka baik-baik saja.


Kulihat ada seekor makhluk hijau yang sangat besar hendak menerkamku. Kepala makhluk itu amat besar.  Walau tangannya sangat kecil, namun makhluk itu memiliki kaki yang kuat. Prajurit Alforea yang berlaga di dekatku melihatnya, lalu berteriak.” Naga T-rex!”


Makhluk yang disebut-sebut sebagai naga T-rex itu sepertinya sudah menandaiku. Kepalanya yang besar terus berusaha untuk mencapitku. Tak peduli kawan maupun lawan, naga yang sangat besar itu terus menerjang ke arahku.


Kuputuskan untuk melakukan hal yang gila, yaitu melawannya. Satu lawan satu. Aku melompat menghindari terkamannya yang seketika kuhindari bersamaan dengan aku berbalik. Saat itu pula aku berhasil melayangkan tinju Hrodgeir-ku ke arah pipinya. Monster itu sepertinya memiliki kulit yang cukup keras. Pukulanku tak begitu berhasil menembus tulangnya.


Sebelum monster itu berhasil menyeimbangkan dirinya, aku berhasil memijakkan kakiku di kepalanya yang lebar. Kutarik kulitnya dengan sepenuh tenaga. Monster itu meraung keras, tangannya sepertinya berusaha meraihku. Walau itu mustahil mengingat tangan itu hanya sepanjang rotan Bu Mawar. Namun, monster itu belum menyerah. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar untuk melemparku. Aku menusukkan jariku lebih dalam ke batok kepala monster itu. Membuatnya mengeraskan volume erangannya.


 Monster itu lalu berlari, sepertinya mencari sebuah objek untuk menabrakkan diri sekaligus untuk meremukkanku. Dia terus merangsak ke dalam barisannya. Kulihat ada dua ekor lagi monster serupa yang ada di pihak musuh. Menatap ke arah kami, lalu perlahan mengikuti kami. Dan, beruntungnya monster ini mengarah ke arah menara kristal di sayap kiri. Sepertinya tanpa sengaja ingin meringankan beban kami.


Jarak kami dengan menara itu semakin dekat. Akhirnya tinggal 10 meter sebelum monster ini membenturkan kepalanya yang keras dan besar. Sudah 5 meter, tiba-tiba gerakan makhluk itu sedikit melambat. Menara itu meluncurkan beberapa peluru kristal ke segala arah. Tapi entah atas dasar apa monster tak berakal itu tetap tidak menyerah untuk membenturkan dirinya ke menara itu. Dalam waktu yang singkat. Monster itu “berhasil” menubrukkan kepalanya yang besar ke arah menara itu. Diluar dugaan menara itu cukup rapuh. Satu hantaman itu berhasil mengolengkan menara itu. Merubuhkannya menjadi debu. Sayangnya, menara itu tanpa kuduga kembali utuh dalam rentang waktu yang cukup cepat. 5 detik.


Sepertinya naga T-rex tadi sudah tidak berdaya setelah hantaman barusan. Peluru-peluru proyektil juga sepertinya membuatnya semakin lemah. Saudara-saudaranya sudah berdiri di dekatku. Peluru proyektil juga mengenai mereka yang berusaha mendekat. Aku berusaha melindungi diriku dibalik jasad yang sia-sia mati konyol demi diriku. Terima kasih, kawan.


Kini, ribuan mata mengarah padaku. Ya, seekor monster bermata seribu yang langsung kutembak dengan senjataku. Di belakangnya muncul dua sorot mata merah yang ternyata adalahah sesosok pria pucat yang berpakaian lateks. Sosoknya mengingatkanku pada sosok bertopeng di kedai tempatku bertemu dengan Tata, Mawar, dan Nona Pohon. Hanya saja pria ini tidak bertopeng dan tidak berpayudara. Giginya tajam menyembul dari mulutnya. Dan juga tangannya menyeret sesosok gadis yang memakai seragam tentara Alforea.


“Hmm.. kamu satu dari 4 wanita yang tiba-tiba muncul tadi. Sebelum aku menyantapmu juga, kupersilahkan kau untuk berbicara dengan anak ini. Tenang saja, para monster di belakang sana lebih tertarik mengejar para manusia yang melarikan diri.” desis pria itu, lalu melemparkan wanita yang sedaritadi diseretnya.


“No-nona,  larilah! Pria ini adalah vampir yang memimpin armada monster ini! Aku sudah digigitnya, mungkin sebentar lagi aku akan berubah menjadi drakulina, tapi aku tak mau!” ucap gadis yang diseret pria itu. Matanya sembab oleh air dan darah.


“Sebentar, bagaimana keadaan pasukan kita di sana?”


Gadis itu terus terisak. “Me-mereka mundur. Monster-monster yang sebelumnya ada di pihak kita, mendadak tersadar dan ikut mengamuk.”


Harapan kami untuk memenangkan pertempuran ini semakin menipis. Mana mungkin aku menghancurkan dua menara ini dalam satu serangan. Tapi, sebelum itu. Aku akan terus berjuang. Aku tidak ingin menyerahkan diriku untuk digigit vampir kurus itu. Paling tidak, aku ingin mati yang indah seperti pahlawan-pahlawan di bintang nun jauh sana.


Mati tercerai berai bukanlah cara mati yang buruk.


Gadis di depanku mulai bergetar sambil memegangi dadanya, lidahnya menjulur dan liurnya menetes. Langsung membeku sebelum tetesan itu jatuh di pasir. “N-nona, aku mulai merasa aneh dengan tubuhku. Cepat, bunuh.. d-darah! aahh..”


Maaf, begitulah bisikku padanya. Pukulan maut Hrodgeir sudah kuarahkan tepat ke paru-parunya. Tinju yang seharusnya dipakai untuk menghancurkan muka ini kusarangkan ke dadanya. Menyembur darah dari mulutnya, mengenai wajah dan armorku.


“Te-terima kasi-“


Sekali lagi maaf, sebelum kau menyelesaikan nafas terakhirmu. Aku sudah melangkahi jasadmu. Mengarahkan tinjuku ke arah pria pucat itu. Tepat ke mukanya. Sayang, kranium makhluk ini ternyata lebih keras ketimbang naga T-rex tadi. Terutama taringnya.


“Hm- eyang..” gagapnya. Lalu mundur selangkah.  Mengulangi ucapannya sebelumnya, “Lumayan, maksudku.”


Aku memasang kuda-kuda. Sebelum kuda-kudaku terbangun, makhluk laknat itu sudah berlari ke arahku. Dengan sikap yang belum sempurna, aku menendang makhluk itu tepat di lambungnya. Sekali lagi makhluk itu terjungkal.


“Ahaha.. Aku memang bukan petarung yang baik, apalagi kalau melawan seorang lady yang anggun.” ucapnya kalem, seakan menghina. “Tapi, aku adalah pemakan yang baik!” pekiknya melompat ke arahku.


Pria itu berhasil menggigit batang tangan kananku. Taringnya seakan memanjang memenetrasi armor harimau hitam yang tak tertembus ini.


“Afufu.. Aku dapat tanga-“ begitu ucapnya sebelum kuhantam mukanya dengan bogemku. Mementalkannya sekali lagi. Entah karena tinjuku yang terlalu kuat atau dia berusaha menghindar dengan cepat, tangan kananku ikut terputus.


Bagaimana rasanya? Sebelum kau menyadarinya takkan terasa apa-apa. Namun, tentu saja sakit tak tertahan ketika kau sadar bahwa tanganmu sudah ada di gigitannya.


“Tangan kananmu kudapatkan! Ahaha!” seru vampir itu girang. “Akan kusimpan buat nanti. Aku tak suka menyantap mangsa yang tidak utuh. Paling tidak nanti akan kusambungkan lagi dengan badanmu yang seksi.”


“Dasar menjijikkan. Baiklah, kali ini aku takkan bermain-main.” ucapku kemudian, sebelum aku menyalakan Power Drive Maximum. “Baiklah. Aku siap! Sini maju kalau kau lapar!”


“Tentu saja aku selalu merasa lapar!” jerit makhluk itu melompat kearahku, hendak menerkamku dengan penuh nafsu birahi dan hewani. Walau kupikir aku bisa menghindari terkamannya, ternyata gigitannya berhasil menggigit pundakku.


Terima kasih pada kemampuan armor harimau hitam yang baru saja kuaktifkan. Gigitannya bahkan tak berhasil menembus zirahku untuk kedua kalinya. Setelahnya ku banting makhluk ini. Mulanya dia baik-baik saja. Tapi tidak setelah aku mengaktifkan overdrive. Kuhantamkan lima kali tinjuan ke tengkorak makhluk ini. Dia tidak baik-baik saja kali ini. Mukanya terlihat kusut setelah kuhujani tinju, namun dia masih bertahan.


Vampir itu belum menyerah, tangannya masih berusaha menyentuh tubuhku.Sebelum dia berhasil menyentuhku aku sudah mulemparkan badannya ke arah menara kristal. Badannya terjebak di antara retakan. Kemudian dengan tangan kiriku. Kutembakkan mini-railgun padanya sosok keparat itu, memusnahkannya. Gelombang kejutnya melontarkanku tepat kearah dimana dia menjatuhkan tanganku tadi. Menara itu. Sekali lagi runtuh. Sebelum menara itu kembali terekontruksi. Aku mengaktifkan Gravity Drive pada lenganku ini. Menarik semua pecahan kristal itu ke medan gravitasi Gravity Drive.


Dengan ini aku bisa menghancurkan menara yang satunya.


“KAU TAKKAN PERNAH BISA PERGI DARI SINI!” jerit gadis prajurit yang sebelumnya sudah kubunuh tadi. Sepertinya membunuh vampir hanya bisa dengan menghancurkan jantungnya saja. Terlambat, mayat hidup brengsek itu sudah menggigit putus kakiku.


“SIALAN KAU JALANG!” kulesakkan tinju overdrive yang masih tersisa 6 detik lagi ke arah jantungnya. Mayat itu sekarang telah menjadi mayat seutuhnya.


Kini badanku sepenuhnya tak bisa bergerak. Sepertinya badanku juga ikut tertarik ke dalam Gravity Drive. Sudah kutembakkan empat sisa peluruku. Tidak ada yang kena. Sepertinya sudah game over.


Tapi, tak ada angin atau kabar. Tiba-tiba batu besar tempat pertama kami berpijak disini menghantam menara kanan. Teriakan dan jeritan perang yang kudengar dari jauh menghilang. Sepertinya keajaiban barusan yang menyelamatkanku.


Atau mungkin ini bukan keajaiban, melainkan ulah gadis bebal itu?


Masa bodohlah, biarkan aku bersantai menonton angkasa yang luas. Eh, apakah bintang yang paling terang itu Ostrogoth?? Siapa tahu.



[Pasal V: The Girl Who Leapt Throught The Air]



Lompat, terus melompat. Melompati palang, melompati tali, melompat dengan galah, melompat dari kenyataan,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Maecenas nec justo quam, id tincidunt dolor. Integer a tellus ut nunc elementum volutpat. Vivamus eu arcu lacus. Phasellus eu ipsum a metus ullamcorper mollis. Sed eget ligula enim. Fusce tristique ipsum a tortor molestie nec interdum dolor iaculis. Nunc quis magna in odio interdum varius sed eu mauris.


Melompat dari inti cerita. Melompat..


Manusia akan terus melompat, melompati tangga evolusi. Yang pada awalnya hanya kera botak yang tinggal di goa, menemukan api, roda, hingga peradaban. Tentu saja itu juga merupakan jasa lompatan.


Hidupku sendiri terdiri dari lompatan, masa kecilku yang senang melompat-lompat, masa pelatihanku yang lompat kelas, masa abdiku yang melompat dari serdadu ke komandan.


Yang kubisa memang cuma melompat. Aku hidup dengan melompat, dengan lompat aku bisa melihat tempat yang lebih tinggi, setinggi cita-cita seorang pemuda. Mungkin harapan semua orang tua pada putra-putrinya yaitu menyaksikan harta kesayangan mereka itu melompat meraup citanya. Sekali lagi melompat.


Kalau diingat, mungkin lompat-lompat juga membuatku panjang umur. Badanku jadi sehat, dan nyawaku selamat saat kampung lamaku diratakan legiun merah Kastabar. Kuharap lompat-melompat bisa menyelamatkanku kali ini. Ya, sekarang ada seekor kuda raksasa yang berapi-api tengah mengejarku. Berapi-api ini memiliki dua arti. Arti pertama, jelas aku tahu saat melihat dari kebrutalan dan keberingasannya dia tentu sangat bersemangat mengejarku. Arti kedua, badan kuda itu diselimuti jaket api dan makhluk itu memiliki sepasang sayap yang membara.


Tunggu sebentar. Bagaimana kuda setinggi  50 meter itu tidak bisa menyambarku yang hanya setinggi 170 senti ini? Yah, tentu saja dengan melompat. Lompatanku hanya setinggi 3 meter sih. Itu sih kalau aku tak memakai bubuk Abhorrenium dan sepatu ini. Berkat bubuk warna hitam ini aku bisa melompat sejauh 30 meter per 10 detik. Tapi itu belum cukup untuk menghindari amukan kuda yang sepertinya bisa mengitari planet ini dalam semalam. Terima kasih atas ngarai yang luas ini. Tempat bersembunyi ada puluhan.


Bagaimana aku sekarang? Tentu saja bersembunyi di gua yang tersedia. Sepertinya makhluk jahanam itu, ya, benar-benar jahanam, sedang menyeruduki mulut gua satu persatu. Sambil meluncurkan hujan api secara berkala.


Horor? Tentu! Yang bisa dilakukan manusia hanya berteduh di situasi semacam ini. Mana mungkin aku punya skill untuk memadatkan diri sekeras-kerasnya atau menghilangkan keberadaan. Yang kupunya hanyalah pedang dan 5 botol bubuk ini. Mampus, pakaianku hangus tadi. Tinggal secarik kain untuk menutupi kaki dan kuiras yang sudah usang ini.


Apa aku bunuh diri saja? Ogah! Aku masih punya banyak mimpi. Aku bahkan belum tahu nama pemuda cantik berambut ungu yang kulihat di kafe tadi. Mungkin itu salah satu dari ratusan mimpiku sih. Aku juga belum sempat bertatap muka dengan Brian. Menanyainya tentang apa saja yang terjadi di sewindu yang hilang, apa yang dia lakukan pada paman Sartre, dan mengapa nama Fath`a Lir ini direkomendasikan oleh pria itu. Sungguh, aku tidak tahu kenapa aku bisa membenci pria itu.


Sekarang aku harus berfokus ke situasi ini. Tempat ini semakin panas. Aku merasa darahku mendidih. Aku harus keluar dari sini. Bersama dengan batu besar ini.


Dengan berpegangan pada celah batu besar ini aku meluncur keluar. Sepertinya pucuk batu besar ini menabrak objek yang empuk. Setelah kurasa situasi sudah cukup panas, aku melompat. Tentu saja dengan bantuan Abhorrenium.


Hawanya masih panas, kucoba membalikkan badanku. Benar saja. Batu tadi menabrak muka kuda raksasa itu. Mendorongnya hingga menabrak sisi ngarai yang berupa tebing batu. Tepat setelah mendarat, aku melontarkan sejumput bubuk hitam ke arah bebatuan kecil dan menebasnya. Meluncurkan proyektil-proyektil itu ke dinding ngarai. Untungnya perhitungan asal-asalanku tepat. Proyektil itu menabrak dinding tebing yang penuh bebatuan lapuk. Longsor terjadi tak lama kemudian, menimbun raksasa panas itu. Paling tidak itu akan mendinginkannya sejenak.


...sial! Aku lupa dengan sayapnya yang memuntahkan api! Paling tidak aku harus menyiapkan instrumen artileri dan jebakan yang baru. Membayangkan monster itu bisa lolos dari kuburan tanah itu saja sudah membuat bulu kudukku berdiri.


Aku harus segera melompat!



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Aku kembali di dekat tempat kami memulai babak ini. Batu besar yang sepertinya sudah cukup lama berada di tempat ini. Di sekelilingnya ditumbuhi beberapa kaktus dengan ukuran yang variatif. Mungkin saja durinya bisa kupakai.


Kuambil sepucuk duri kaktus itu. Kucoba mengalirkan sedikit energi samadhi-ku padanya. Warnanya berubah menjadi kuning keemasan, ada dua kemungkinan bila warna daun berubah menjadi keemasan. Untuk obat bakar, atau untuk obat penguat.


Tidak ada masalah pada kemungkinan obat penguat, yang bermasalah tentu obat bakar. Aku pernah menelan daun yeng sebenarnya penggunaannya yaitu untuk salep dan setelahnya aku tak bisa menggerakkan jari-jemariku selama 2 hari penuh. Tunggu, sepertinya aku menginjak sesuatu?


Aku menemukan secarik objek yang mirip dengan kulit. Namun ketika kusentuh permukaannya kasar seperti lapisan kambium. Mungkin saja ini kulit Ananda yang tak sengaja terjatuh. Aku akan tanyakan padanya nanti.


Serdengar suara kepakan dari arah barat. Sepertinya kuda raksasa itu sudah semakin mendekat ke arahku. Paling tidak aku bisa bersembunyi di balik batu ini. Kenapa mereka lama sekali sih ngehancurin menara kristalnya? Apa memang sesusah itu? Yah, niatanku memancing monster ini supaya mengejarku juga kalau dipikir-pikir memang bodoh ya? Melawan monster yang tidak bisa kau serang secara langsung. Kalau aku mati tentu saja bakal jadi bahan tertawaan.


Ah. Nggak usah mikirin soal mati du--


Oke, ini pemikiran dari pemikiran. Sekali lagi aku lupa kalau monster itu mengeluarkan sihir seperti hujan meteor. Walau aku berlindung di sebuah objek. Tidak menutup kemungkinan kalau serpihan proyektil itu bisa mengenaiku.


“AARGHH!!! TANGANKU!!”


Api yang sangat panas itu mengenai tangan kananku. Tulangku terlihat menyembul dari dagingku yang menghitam. Rasa sakitnya sungguh tak tertahankan. Lebih panas ketimbang cipratan besi panas.


Untungnya angin yang dikepakkan sayap makhluk itu menutupi teriakanku. Kuda itu masih terbang di atasku. Menanti-nanti targetnya tersibak penglihatannya.


Aku masih tak bisa menutupi rasa sakitku. Entah mengapa di dalam pemikiranku terbesit untuk memakai kulit Ananda tadi untuk savaraga. Aku tahu ini aneh, tapi harus kucoba.


Kualirkan energi samadhiku pada kulit itu. Kulit itu tak berubah. Hanya saja teksturnya menjadi lebih tipis dan renyah. Aku tak tahu bagaimana cara menyampaikannya nanti. Maafkan aku, Ananda!


*kres*


Rasanya seperti kulit ayam yang digoreng. Renyah dan gurih. Tiba-tiba saja aku merasa ada yang salah dengan telingaku.


{Tata}


Benar, seakan ada yang menyebut namaku.


{Kumohon, jangan menyerah!}


Sekarang suara itu memotivasiku.


{Kau bisa mendengarkanku?}


S-siapa itu!?


{Ah, sudah waktunya ya? Kalau begitu izinkanlah aku memperkenalkan diri. Walau sebenarnya kita sudah lama akrab. Namaku hmm.. Drianic Brightlad.. Atau yang biasa kau panggil Sarafma Furaz. Sudah lama aku ingin mengucapkan ini. Nah izinkan aku mengucapkannya. Ehem.. Selamat Tata, kau resmi jadi holder Andema.}


K-kau.. apa?


{Bagaimana ya? Aku sedari tadi merangkap narator di sini. Aku sempat terkaget waktu gadis pohon itu menyadari keberadaanku. Haha..}


La-lalu, A-andema.. Bukannya hak memegang Andema hanya dimiliki oleh Prophet pilihan Universor?


{Hei! Bagaimana kau tahu soal Prophet dan Universor? Itu bukanlah rahasia yang bisa dibicarakan oleh sembarang orang. Anehnya seorang prajurit sepertimu bisa tahu!? Tapi biarlah. Toh ini juga sudah terjadi. Sebelum aku berbicara lebih banyak. Mari kita kalahkan Tamon Rah.}


Tamon Rah?


{Nama kuda itu. Kudengar dari pemikiran gadis bernama Vane itu. Nah, sekarang tolong alirkan energi AesT ke dalam diriku.}


AesT? Samadhi maksudmu?


{Sama saja.}


Baiklah.


Benar-benar gila! Aku berbicara dengan pedangku! Pedangku mengaku sebagai narator! Ah, isi kepalaku tercampur aduk.  Kulakukan saja apa perintahnya. Aku mengalirinya dengan energi samadhi-ku tanpa terbendung.


{Cukup. Sekarang, tebaskan aku ke arah kuda itu. Coba lakukan sambil berteriak.}


Kulakukan saja apa yang dia mau. Entah kenapa kali ini tebasanku begitu cepat. Seakan aku hanya menggetarkan tubuhku.


“YEEART!!”


Kuda itu mendadak menatapku yang mengarahkan moncong pedangku padanya. Lalu berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi. Menukik, terjun ke arahku. Berlaripun aku takkan selamat.


{Tak usah berlari. Mungkin kuda itu akan menyambarmu besok pagi.}


Eh, bagaimana bisa, Furaz?


{Yah, susah menjelaskannya. Simpelnya, aku mengubah satuan jarak kuda itu menuju kemari dari 1 km menjadi 1 Tm}


Hah? B-bagaimana bisa?


{Kuperkenalkan sekali lagi. Aku adalah Drianic Brightlad, Andema, sekaligus manipulator jarak.


Tata kebingungan, dia tak bisa berkata apa-apa. Isi kepalanya hanya ingatan tentang bagaimana kejadiannya dia bisa menemukan pedang ini


, apa benar begitu narasinya?}


I-iya.


{Sayangnya, sinkronisasi kita belum terjalin sepenuhnya. Mungkin kau bisa memakai kemampuanku ini beberapa bulan lagi. Tapi jangan khawatir, proses ini tidak begitu memakan lama. Mungkin kemampuan lain akan segera muncul. Kau hanya perlu bersabar.}


T-tidak apa-apa kok.


{Oke, ini hadiahku untukmu. Sebuah bocoran. Sekarang cepat terbangkan batu besar ini ke arah utara, 500 gram Abhorrenium cukup untuk jarak 8 km. Arah jam 1. Jangan kau tunda-tunda! Proyektil dari sayapnya tidak terpengaruh oleh kekuatanku. Sekian info dariku. Aku ingin memulihkan state-ku dulu.  Selamat berjuang, pemenang.}


Suara itu menghilang dari kepalaku. Kulihat langit yang begitu terang. Seakan matahari ada di atas kepalaku. Tamon Rah, nama kuda itu, terus berlari di tempat. Tak terlihat tanda-tanda kelelahan di badannya. Walaupun begitu, kurasa dia begitu menderita. Baiklah, sebelum aku melompat ke babak selanjutnya, akan kuakhiri penderitaan kuda malang itu. Selamat tidur, puteri cantik.


*bum


Beberapa detik kemudian, tubuh Tata terpartikelisasi. Di hadapannya terpampang hologram bertuliskan “Selamat”. Senyuman Tata merekah merah, yang kemudian hilang tertelan peleburan data.





[Epilogue]



Bersamaan dengan lenggangnya Tata dari tempat ini. Muncul retakan di udara, dari retakan itu keluarlah sosok yang tertutup oleh kain kumal, tangannya memegang sebuah kaleng kuning dengan logo perisai hijau dan 9 huruf yang ditulis besar-besar yang membentuk kata “DRY GINGER”.

Sosok enigmatik itu berjalan mengitari lokasi pertarungan Goliath dan David yang baru saja terjadi. Sosok itu lalu berhenti di sebuah gundukan kecil, menggali-gali pasirnya, dan kemudian berhenti setelah beberapa lama. Sosok itu menumpahkan kalengnya. Berusaha mengangkat objek yang berhasil ditemukannya.

“—Marh.. Maafkan aku. Kau akan kubawa lagi.”

Pria itu lalu tenggelam dalam pasir. Menghilang.